Jumat, 18 Februari 2011

Stres Terkait Bencana Alam : Insiden, Tanda Tanda Stres, Serta Penanganan Stres

Kesedihan, kehilangan, kekecewaan, dan trauma adalah kata-kata yang melekat ketika bencana melanda. Secercah cahaya sangat diperlukan agar korban sembuh dan bisa melanjutkan hidup kembali pasca bencana.
Rangkaian bencana alam yang terjadi di Indonesia, yaitu banjir bandang di Wasior, tsunami di Mentawai, dan erupsi Gunung Merapi telah menelan ratusan korban meninggal, hilang, maupun luka-luka. Kerugian material dan immaterial yang besar berdampak pada kesehatan psikis dan somatis bagi korban bencana dan keluarganya. Tulisan ini menguraikan dampak bencana dari sudut pandang kedokteran/kesehatan dengan fokus pada dampak psikologis dan somatis berupa stres dan penyakit kardiovaskuler (jantung-pembuluh darah), yang meliputi patofisiologi, insiden, cara mengenali, dan cara menanganinya.

Gangguan homeostasis akibat stres pada korban bencana alam

Semua makhluk hidup menjaga keseimbangan dinamis yang kompleks (homeostatis), yang selalu dipengaruhi oleh pengaruh kuat dari dalam maupun luar tubuh (stressor). Sehingga, stres didefinisikan sebagai kondisi di mana homeostasis terganggu atau dinilai terganggu. Respon adaptasi psikologis dan perilaku yang kompleks mengembalikan kondisi stres menjadi homeostasis.
Respon terhadap stres diatur oleh sistem stres yang terletak di sistem saraf pusat (otak) dan organ perifer. Sistem stres pusat meliputi hypothalamic corticotrophin-releasing hormone (HCTH) dan brain-derived norepinephrine. Kelainan sistem stres, misalnya karena stressor yang berlebihan, dapat mengakibatkan gangguan psikologis, hormonal, metabolisme, sistem imun, dan kardiovaskuler (jantung-pembuluh darah). Perkembangan dan tingkat keparahan gangguan sistem stres tergantung faktor genetik, epigenetik, ketahanan individu terhadap stres, terjadinya paparan stressor pada saat masa pertumbuhan, adanya faktor lingkungan yang melindungi atau memperberat, serta waktu, berat, dan durasi stres.
Stres dapat menyebabkan kondisi patologis (tidak normal) secara akut (segera) atau kronik (lama dan menetap) pada individu yang rentan. Patogenesis (proses terjadinya penyakit) dari gangguan akut akibat stres dikaitkan dengan meningkatnya sekresi mediator stres (corticotropin-releasing hormone (CRH)) pada individu yang rentan. Sekresi CRH mengakibatkan degranulasi sel mast, dan memicu reaksi alergi pada organ rentan, misalnya pada paru-paru berupa asma atau pada kulit berupa eksim. Peningkatan CRH pada otak menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak dan peningkatan permeabilitas sawar darah otak dengan gejala berupa migraine (karena pelebaran pembuluh darah meningeal otak), panik atau serangan psikotik (karena aktifnya respon takut pada sistem amigdala otak). Gangguan tekanan darah (hipertensi atau hipotensi) disebabkan oleh stres yang menginduksi sistem syaraf simpatis atau parasimpatik secara berlebihan. Patogenesis gangguan kronis akibat stress dapat dijelaskan oleh adanya sekresi CRH berlebihan dan menetap jangka panjang yang mempengarui sistem homestasis.

Stres terkait bencana alam

Insiden

Bencana alam dapat menyebabkan dampak serius dan berkepanjangan terhadap kesehatan fisik maupun psikologis pada korban bencana yang selamat. Stres pasca tauma (posttraumatic stress disorder (PTSD)) merupakan kelainan psikologis yang umum diteliti setelah terjadinya bencana. PTSD dicirikan dengan adanya gangguan ingatan secara permanen terkait kejadian traumatik, perilaku menghindar dari rangsangan terkait trauma, dan mengalami gangguan meningkat terus-menerus. Angka kejadian PSTD pada korban yang mengalami bencana langsung yang selamat kurang lebih 30% sampai 40%. Pengamatan pada 262 korban tsunami di Aceh menunjukkan bahwa 83,6% mengalami tekanan emosi berat dan 77,1% menunjukkan gejala depresi. Tekanan emosi berat tersebut terkait degan jumlah orang yang meninggal karena tsunami dalam keluarga responden.

Tanda-tanda stres terkait bencana alam

Secara umum, dampak bencana akan direspon dengan cara yang berbeda oleh tiap korban. Beberapa orang mungkin mengalami dan mengekpresikan reaksi yang sangat kuat, sedangkan lainnya hanya reaksi yang sangat ringan. Ada yang mengalami reaksi segera setelah kejadian, sementara ada pula yang baru mengalami reaksi beberapa hari, minggu, atau bulan setelah kejadian. Reaksi seseorang mungkin pula berubah setiap saat.
Tanda-tanda stres pada orang dewasa

Reaksi emosi terhadap bencana sangat wajar terjadi yang mencakup: perasaan tumpul (mati rasa), sedih, gelisah, marah, berduka, sensitif, pupus harapan, dan kecewa.Konsultasi kesehatan mental perlu dipertimbangkan apabila reaksi yang muncul menetap, memburuk, atau mengakibatkan gangguan fungsi perawatan diri ataupun pekerjaan

Tanda-tanda stres pada anak-anak

Bencana alam bisa memicu munculnya rasa ketakutan, kebingungan, dan ketidakamanan pada anak-anak. Beberapa bentuk ketakutan yang dialami oleh sebagian besar anak adalah: (1) kejadian terulang lagi, (2) orang terdekatnya akan meninggal atau terluka, dan (3) mereka ditinggal sendiri atau terpisah dari keluarga. Pada sebagian besar anak, reaksi terhadap bencana alam berlangsung dalam waktu singkat dan merupakan reaksi normal terhadap “kejadian tidak normal”. Sebagian kecil dari mereka dapat mengalami tekanan psikologis berat.





Penanganan stres terkait bencana alam

Mengatasi stres terkait bencana alam pada orang dewasa

Cara setiap orang merespon bencana alam bervariasi, dan perlu diingat bahwa cara yang mereka ekspresikan tidak yang ada salah atau benar. Berikut ini adalah cara-cara untuk mengurangi/mengatasi stres terkait bencana.
  1. Membicarakan dengan seseorang tentang perasaan yang dirasakan (marah, sedih, dan perasaan lain), meskipun mungkin sulit.
  2. Mencari pertolongan dari konselor profesional yang berurusan dengan stres pasca bencana.
  3. Menghindari sikap membebani diri dengan tanggung jawab atas peristiwa bencana, atau putus asa karena merasa tidak bisa membantu secara langsung dalam kerja menangani bencana.
  4. Mengusahakan cara penyembuhan secara fisik dan psikologis dengan pola makan sehat, istirahat, olahraga, relaksasi, dan meditasi.
  5. Menjaga kondisi keluarga dan rutinitas sehari-hari secara normal, membatasi menuntut tanggung jawab pada diri sendiri dan keluarga.
  6. Meluangkan waktu dengan keluarga dan teman-teman.
  7. Berpartisipasi dalam acara-acara “kenangan”.
  8. Bergabung dalam kelompok-kelompok pendukung (keluarga, teman, dan lembaga keagamaan).
  9. Memastikan dan menyiapkan diri sewaktu-waktu bencana datang lagi dengan persediaan material menghadapi bencana dan memperbarui rencana keluarga menghadapi bencana.

Cara memahami dan membantu anak-anak mengatasi stres terkait bencana alam

Reaksi anak-anak dipengaruhi oleh perilaku, pikiran dan perasaan orang dewasa. Orang dewasa sebaiknya memotivasi anak dan remaja supaya mengutarakan pikiran dan perasaan mereka tentang kejadian bencana. Klarifikasi kesalahpahaman mereka tentang risiko dan bahaya denga cara mendengarkan apa yang menjadi perhatian mereka dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Pertahankan perasaan tenang dengan meluruskan perhatian dan persepsi anak-anak dan dengan mendiskusikan rencana nyata untuk penyelamatan. Pertanyaan dari anak kecil cukup di jawaban dengan singkat tanpa elaborasi seperti untuk anak yang lebih besar atau remaja. Jika anak kesulitan mengekspresikan perasaannya, arahkan mereka mengungkapkannya dengan cara menggambar atau menceritakan apa yang terjadi. Diperlukan upaya untuk memahami apa yang menyebabkan kecemasan dan ketakutan pada anak.
Stres banyak ditemukan pada korban bencana, baik segera setelah kejadian maupun dalam jangka waktu lama sesudahnya. Telah diuraikan insiden, patofisiologi dan penanganan stres pada korban bencana. Hal ini dapat menjadi masukan pengetahuan bagi pihak-pihak yang mengelola penanganan korban bencana, baik pengambil kebijakan maupun pelaksana di lapangan seperti dokter, paramedis ataupun petugas/relawan kemanusiaan lainnya.


~kn

Tidak ada komentar:

Posting Komentar