Jumat, 18 Februari 2011

Prinsip Dasar Manajemen Bencana

Pengertian Bencana
World Health Organization mendefinisikan bencana sebagai "fenomena ekologis cukup besar yang terjadi tiba-tiba sehingga membutuhkan bantuan dari luar." The American College of Emergency Physicians (ACEP) menyatakan bahwa sebuah bencana telah terjadi "ketika kekuatan merusak dari alam atau buatan manusia melampaui sebuah area atau komunitas tertentu untuk mendapatkan perawatan kesehatan." 
Definisi lain juga ada, namun secara umum menyebutkan bahwa ada kekacauan besar sehingga organisasi, infrastruktur dan sumber daya setempat tidak dapat kembali seperti sedia kala setelah kejadian tersebut tanpa bantuan dari pihak luar.
Menurut UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.

Manajemen bencana merupakan suatu disiplin ilmu yang menyangkut seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai Siklus Manajemen Bencana, yang bertujuan untuk (1) mencegah kehilangan jiwa; (2) mengurangi penderitaan manusia; (3) memberi informasi masyarakat dan pihak berwenang mengenai risiko, serta (4) mengurangi kerusakan infrastruktur utama, harta benda dan kehilangan sumber ekonomi. Bidang ilmu ini berhubungan dengan persiapan sebelum terjadi bencana, tanggap bencana (mis. evakuasi gawat darurat, karantina, dekontaminasi massa, dll) serta mendukung dan membangun kembali masyarakat setelah bencana alam atau bencana buatan manusia terjadi. Jadi manajemen gawat darurat merupakan proses berkelanjutan dimana semua individu, kelompok dan komunitas mengelola risiko dalam usaha untuk menghindari atau memperbaiki akibat bencana yang merupakan hasil dari risiko.

Tahapan Manajemen Bencana

Secara umum kegiatan manajemen bencana dapat dibagi ke dalam tiga kegiatan utama, yaitu:Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan serta peringatan dini;
  1. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan Search and Rescue (SAR), bantuan darurat dan pengungsian;
  2. Kegiatan pasca bencana yang kencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi.
Referensi lain membagi proses manajemen gawat darurat menjadi empat tahap: mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan.

Kegiatan Pra Bencana
-   Mitigasi
Mitigasi merupakan usaha yang dilakukan untuk mencegah risiko-risiko yang ada berkembang menjadi bencana secara keseluruhan atau tindakan yang dilakukan untuk mengurangi efek bencana ketika terjadi. Tahap ini berbeda dari tahapan lain karena menitikberatkan pada langkah-langkah jangka panjang untuk megnurangi atau menghilangkan risiko. Tindakan-tindakan mitigatif dapat berupa struktural maupun non-struktural. Tindakan-tindakan struktural menggunakan penyelesaian teknologi seperti bendungan atau kanal untuk mengontrol banjir. Tindakan non-struktural mencakup legislasi, perencanaan penggunaan lahan dan asuransi. Mitigasi juga mencakup peraturan mengenai evakuasi, sanksi bagi yang menolak peraturan (seperti evakuasi wajib), dan mengkomunikasikan risiko potensial kepada masyarakat. Mitigasi merupakan metode yang murah untuk mengurangi dampak risiko, namun hal ini tidak selalu disukai. Implementasi strategi mitigasi dapat dipandang sebagai bagian proses pemulihan jika dilakukan setelah terjadi bencana.
Aktivitas yang mendahului mitigasi adalah identifikasi risiko. Penilaian risiko fisik merujuk kepada proses identifikasi dan evaluasi bahaya. Persamaan di bawah menunjukkan bahwa bahaya (hazard) dikalikan dengan kerentanan populasi terhadap bahaya tersebut (populations' vulnerability to that hazard) menghasilkan risiko. Semakin tinggi risiko, semakin perlu kerentanan tersebut dijadikan target usaha-usaha mitigasi dan kesiapsiagaan.
Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu penilaian bahaya, peringatan dan persiapan.
  1. Penilaian bahaya (hazard assessment); diperlukan untuk mengidentifikasi populasi dan aset yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana, kemungkinan kejadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan Peta Potensi Bencana yang sangat penting untuk merancang kedua unsur mitigasi lainnya;
  2. Peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi, dsb). Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya.
  3. Persiapan (prepraredness). Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman. Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah dan pemahamannya sangat penting pada tahapan ini untuk dapat menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana. Selain itu jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya bencana (mitigasi non struktural), serta usaha-usaha keteknikan untuk membangun struktur yang aman terhadap bencana dan melindungi struktur dari bencana (mitigasi struktural).
Mitigasi tidak hanya menyelamatkan jiwa dan mengurangi kerugian-kerugian harta benda, akan tetapi juga mengurangi konsekuensi merugikan dari bahaya-bahaya alam terhadap aktivitas-aktivitas dan institusi-institusi sosial. Jika sumber-sumber mitigasi terbatas, maka harus ditargetkan pada elemen-elemen yang paling rentan dan mendukung tingkat aktivitas masyarakat yang ada. Penilaian kerentanan merupakan aspek penting dari perencanaan mitigasi yang efektif. Kerentanan menunjukkan kerawanan terhadap kerusakan fisik dan kerusakan ekonomi dan kurangnya sumber-sumber daya untuk pemulihan yang cepat. Untuk mengurangi kerentanan fisik elemen-elemen yang lemah bisa dilindungi atau diperkuat. Sementara untuk mengurangi kerentanan institusi sosial dan aktivitas ekonomi, infratruktur perlu dimodifikasi atau diperkuat.

-         Kesiapsiagaan
Pada tahap kesiapsiagaan, pemerintah atau pihak berwenang mengembangkan rencana aksi ketika bencana terjadi. Langkah-langkah kesiapsiagaan yang umum dilakukan mencakup:
  • Rencana komunikasi dengan metode dan istilah yang mudah dimengerti
  • Perawatan dan pelatihan pelayanan gawat darurat yang memadai, termasuk sumber daya manusia massa seperti tim gawat darurat yang ada di masyarakat
  • Pengembangan dan pelatihan metode peringatan gawat darurat masyarakat digabung dengan tempat perlindungan gawat darurat serta rencana evakuasi
  • Cadangan, inventaris dan pemeliharaan peralatan dan perlengkapan bencana
  • Mengembangkan organisasai masyarakat yang terdiri dari awam terlatih
Aspek lain dari kesiapsiagaan adalah perkiraan korban bencana, penyelidikan berupa berapa banyak korban jiwa atau cedera yang mungkin jatuh dari suatu kejadian bencana tertentu.
Perencanaan bencana dapat dibagi ke dalam perencanaan eksternal dan internal. Banyak komunitas yang memiliki rencana yang terinci yang ketika diuji ditemukan bahwa rencana tersebut berdasarkan asumsi yang keliru ataupun sama sekali tidak dapat diterapkan pada konteks respons awal.

Perencanaan Eksternal
Perencanaan penanggulangan bencana perlu dibuat dengan menggabungkan temuan di lapangan dengan teori ataupun penelitian mengenai bencana sehingga rencana bencana yang kadang dibuat berdasarkan asumsi yang keliru dan tidak terbukti kebenarannya tidak terjadi. Contohnya, para perencana secara logis berpikir bahwa pasien yang paling parah akan diangkut pertama kali pada saat bencana, pada kenyataannya hal ini tidak terjadi pada banyak kejadian.
Dalam mengembangkan rencana bencana, perlu diingat bahwa tidak mungkin untuk merencanakan semua kemungkinan; oleh karena itu, rencana harus relatif umum sehingga dapat dikembangkan. Sebagian besar bencana yang dapat ditangani menggunakan sumber daya lokal atau regional mengakibatkan korban jiwa kurang dari 100 dan kurang dari 500 cedera berat. Jika rencana dikembangkan untuk bencana skala yang lebih besar, rencana perlu fokus pada 48 jam pertama pasca bencana hingga bantuan nasional atau pusat dapat tiba dan mengatasi tingkat fatalitas yang tinggi selama 24 jam pertama.

Perencanaan Internal
Perencana bencana rumah sakit harus mempertimbangkan skenario yang telah dijelaskan sebelumnya, termasuk kemungkinan bahwa bencana dapat melibatkan rumah sakit. Untuk kejadian langka tersebut, aspek-aspek keterlibatan rumah sakit seperti dekontaminasi massa, triase multipel dan area pemeringkatan (staging area) di dalam rumah sakit, serta persediaan peralatan dan perlengkapan yang memadai harus diantisipasi. The Joint Comission on Accreditation of Hospitals (JCAHO) mensyaratkan rumah-rumah sakit untuk melatih rencana bencana secara berkala dan membentuk komisi bencana. Komisi ini perlu terdiri dari departemen penting dalam rumah sakit, termasuk administrasi, pelayanan keperawatan, keamanan, komunikasi, laboratorium, pelayanan dokter (termasuk tapi tidak terbatas pada kedokteran gawat darurat, bedah umum, dan radiologi), rekam medis serta perawatan mesin dan peralatan pendukung operasional rumah sakit.
Rencana bencana rumah sakit sebaiknya mencakup protokol dan kebijakan yang memenuhi kebutuhan berikut:
  • Pengenalan dan notifikasi
  • Penilaian kemampuan rumah sakit
  • Pemanggilan kembali petugas
  • Pembangunan pusat kendali fasilitas
  • Perawatan rekam medis yang akurat
  • Hubungan masyarakat
  • Penyediaan kembali kebutuhan rumah sakit


Kegiatan Saat Bencana

Respons
Tahap respons mencakup mobilisasi pelayanan gawat darurat dan first responders yang diperlukan ke tempat bencana. Hal ini mencakup gelombang pertama pelayanan gawat darurat inti seperti pemadam kebakaran, polisi, dan petugas medis beserta ambulans.
Rencana gawat darurat yang dilatih dengan baik yang dikembangkan sebagai bagian dari tahap kesiapsiagaan memungkinkan koordinasi penyelamatan yang efisien. Dimana diperlukan usaha search and rescue dapat dilakukan pada tahap awal. Tergantung cedera yang dialami, suhu di luar, dan akses terhadap udara dan air, sebagian besar korban bencanca akan mati dalam 72 jam setelah terjadi bencana.

Aktivasi

Notifikasi dan Respons Awal
Pada tahap ini, organisasi yang terlibat dalam respons bencana dan populasi yang mungkin terkena dampak diberitahukan. Jika bencana diantisipasi, tahap ini terjadi sebelum bencana. Ini berarti masuk ke dalam tahapan pra bencana. Banyak tempat di area bencana yang memerlukan waktu lebih dari 24 jam untuk melakukan evakuasi secara keseluruhan.
Pengaturan komando dan penilaian lokasi kejadian
Begitu tahap aktivasi telah dimulai, struktur komando dan staf yang telah diatur sebelumnya untuk merespons bencana perlu diatur kembali dan jaringan komunikasi awal dibangun. Ini merupakan salah satu langkah penting yang diambil begitu bencana terjadi. Secara historis, waktu berharga dapat hilang selama respons bencana pada saat sistem pusat berkoordinasi dengan usaha-usaha respons disiapkan. Selama tahap ini, laporan-laporan awal mengenai penilain lokasi kejadian keseluruhan mulai berdatangan. Untuk bencana yang statis, aset respons yang diperlukan mungkin perlu ditentukan. Kadang, fakta awal yang diketahui adalah bahwa bencana merupakan proses yang terus berjalan. Namun, bahkan fakta ini penting dalam menentukan apakan bantuan luar diperlukan, masih membutuhkan waktu untuk mengaktivasi sumber-sumber daya tersebut.

Implementasi

Search and Rescue
Tergantung pada struktur dan fungsi sistem komando, search and rescue dapat berada pada komando pemadam kebakaran, pelayanan gawat darurat medis, atau polisi atau suatu unit tersendiri. Pada insiden yang secara geografis tertutup, usaha search and rescue cenderung gamblang. Pada bencana yang lebih besar, khususnya yang tengah berlangsung atau melibatkan aktivitas terorisme, pendekatan kooperatif diperlukan dan aksi seach and rescue sendiri harus diorganisir untuk memastikan cakupan daerah yang cukup dan menyeluruh.
Ekstrikasi, triase, stabilisasi dan transpor
Di banyak negara ekstrikasi telah berevolusi menjadi fungsi dan tugas pemadam kebakaran. Sebagai tambahan tim khusus penyelamatan teknis dan perlindungan, pemadam kebakran lebih memiliki pengalaman dengan gedung runtuh dan bahaya sekunder (mis. banjir, kebakaran) dibanding organisasi lain.
Konsep triase melibatkan identifikasi dan pemilahan korban dengan cedera yang mengancam jiwa untuk meudian diberikan proritas untuk dirawat. Gambaran lengkap triase jauh di luar jangkauan tulisan ini. Petugas medis biasa memberikan perawatan yang ekstensif dan definitif untuk tiap pasien. Ketika bertemu dengan banyak pasien pada waktu bersamaan pada keadaan bencana, mudah untuk megnalami kewalahan, bahkan bagi pekerja bencana yang berpengalaman. Triase harus dilakukan pada tingkat berbeda dan pasien harus dinilai ulang setiap langkah dari proses itu.
Transpor korban harus diatur dan dijalankan untuk menyalurkan korban ke fasilitas yang mampu menerimanya. Berdasarkan pengalaman, mayoritas individu yang terluka berat dibawa hanya kepada satu atau dua fasilitas penerima, yang kemudian kewalahan. Ini terjadi ketika fasilitas lain siap menerima pasien.
Kegiatan Pasca Bencana
Pemulihan
Tujuan dari tahap pemulihan adalah mengembalikan daerah yang terkena bencana kembali ke keadaan semula. Hal ini berbeda dari tahap respons dalam hal fokus; usaha-usaha pemulihan berhubungan dengan masalah dan keputusan yang harus dibuat setelah kebutuhan penting dipenuhi. Usaha-usaha ini terutama berhubungan dengan aksi yang melibatkan pembangunan kembali bangunan yang hancur, pengerjaan kembali dan perbaikan infrastuktur penting lainnya. Aspek penting dari usaha pemulihan yang efektif adalah memanfaatkan 'jendela kesempatan' untuk mengimplementasikan langkah-langkah mitigatif yang mungkin kurang disukai. Penduduk dari daerah yang terkena bencana lebih mudah menerima perubahan mitigatif ketika bencana masih segar dalam ingatan.


~kn

Tidak ada komentar:

Posting Komentar